JAMBI28.TV, JAMBI – Kembali terjadinya banjir di kawasan Simpang Mayang, tepatnya di depan Jambi Business Center (JBC), memicu perhatian dari kalangan akademisi. Tenaga Ahli Lingkungan dari Universitas Jambi, Prof. Aswandi, menilai bahwa banjir tersebut tidak hanya disebabkan oleh tingginya curah hujan, namun lebih karena sistem kanal dan drainase yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini.
Menurut Prof. Aswandi, saluran kanal yang ada masih merupakan warisan lama yang saat pembuatannya belum mengacu pada kajian hidrologi jangka panjang. “Kanal yang digunakan sekarang dibuat tanpa mempertimbangkan perhitungan hidrologi seperti yang dilakukan di masa kini,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa sistem drainase dan kanal semestinya dirancang berdasarkan analisis hidrologi dengan acuan periode ulang, seperti 5 tahunan, 10 tahunan, hingga 25 tahunan. Perhitungan ini merupakan metode ilmiah untuk memperkirakan curah hujan ekstrem berdasarkan data historis.
Dengan pendekatan tersebut, kapasitas saluran drainase dan kolam penampungan air bisa dirancang agar mampu menampung volume air dari hujan deras yang hanya terjadi dalam rentang waktu tertentu, seperti sekali dalam 25 tahun.
“Jika pendekatan ini diterapkan sejak awal, maka saat terjadi hujan dengan intensitas tinggi, sistem drainase dan kolam retensi akan siap menampung debit air. Ini bisa secara signifikan mencegah banjir,” terang Prof. Aswandi.
Melihat kondisi saat ini, ia menilai sistem saluran air di kawasan tersebut sudah tidak layak dan perlu segera diperbaiki oleh pemerintah Kota Jambi. Pembenahan ini dinilai krusial agar sistem pengendalian banjir menjadi lebih efektif, responsif terhadap dampak perubahan iklim, dan mampu menangani curah hujan tinggi di masa mendatang.
Selain itu, Prof. Aswandi juga menyoroti keberadaan kolam retensi milik JBC. Ia menyatakan bahwa kolam tersebut memiliki peran penting dalam pengelolaan air di kawasan perkotaan. Kolam ini seharusnya berfungsi menampung air hujan dari kawasan JBC yang luasnya sekitar 7 hektar, sebelum dilepaskan secara bertahap ke saluran kota.
“Kolam retensi milik JBC seharusnya khusus untuk menampung air dari kawasan JBC, bukan untuk menampung air dari luar. Jika tidak, akan terjadi kelebihan beban dan sistem bisa kolaps,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa banjir sering terjadi akibat rendahnya daya serap tanah, buruknya sistem drainase, tersumbatnya saluran oleh sampah, serta desain kanal yang tidak sesuai dengan analisis hidrologi modern.
“Banjir seharusnya tidak dianggap semata-mata sebagai bencana alam, melainkan sebagai kegagalan dalam pengelolaan lingkungan. Oleh karena itu, perlu dilakukan audit menyeluruh terhadap seluruh sistem drainase, kapasitas kanal, serta fungsi kolam retensi di Kota Jambi,” tutup Prof. Aswandi. (*)