JAMBI28.TV, JAMBI – Putusan ringan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak di Jambi menuai kecaman dari keluarga korban dan pegiat perlindungan anak. Terdakwa Yanto alias Rizky Aprianto, seorang aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemprov Jambi, hanya dijatuhi hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp15 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jambi.
Vonis ini jauh di bawah tuntutan jaksa yang sebelumnya meminta hukuman 7 tahun penjara.
“Saya sangat tidak terima dengan keputusan ini. Dari tuntutan 7 tahun, kenapa hanya divonis 2 tahun?” kata Imelda, ibu korban MA (14), saat ditemui pada Senin (7/7/2025).
Imelda juga membantah pernyataan hakim yang menyebut terdakwa telah mengakui perbuatan dan menyampaikan permintaan maaf selama persidangan. Menurutnya, sepanjang proses hukum, pelaku justru tidak pernah menunjukkan penyesalan dan justru memutarbalikkan fakta.
“Dia tidak pernah minta maaf atau mengakui kesalahan. Justru membalikkan cerita,” tegasnya.
Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Provinsi Jambi juga menyatakan kekecewaannya terhadap putusan tersebut. Ketua LPAI Jambi, Amsyarnedi Asnawi atau Eed, mengkritisi perubahan pasal yang digunakan dalam proses hukum.
Menurutnya, pasal yang awalnya menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak malah diubah menjadi pasal dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang membuat hukuman menjadi lebih ringan.
“Kalau hakim masih punya nurani, minimal hukumannya 5 tahun. Ini hanya 2 tahun, sangat tidak adil bagi korban,” ujarnya.
Eed menyatakan bahwa LPAI akan terus mengawal kasus ini, bahkan siap membawa masalah ini hingga ke tingkat nasional jika jaksa tidak mengajukan banding.
“LPAI akan tegak lurus dalam mengawal kasus ini. Kami akan bersurat ke Kejaksaan Agung bila perlu,” tambahnya.
Ia juga mengimbau para orang tua agar lebih waspada terhadap lingkungan sosial anak-anak mereka, termasuk dalam pergaulan dengan lawan jenis maupun sesama jenis.
Dalam amar putusannya, Hakim Suwarjo menyatakan bahwa Yanto terbukti secara sah melakukan kekerasan seksual fisik terhadap anak di bawah umur. Namun, hukuman yang dijatuhkan hanya 2 tahun penjara dan denda Rp15 juta.
Keputusan ini memicu gelombang kritik dari masyarakat, mengingat korban masih berusia 14 tahun dan pelaku merupakan orang dewasa dengan status sebagai ASN. Banyak pihak menilai bahwa vonis ini tidak mencerminkan rasa keadilan bagi korban dan terlalu ringan bagi kejahatan yang dilakukan.