JAMBI28.TV, JAMBI – Bencana lingkungan yang berulang di berbagai wilayah Sumatera—banjir bandang, longsor, kebakaran hutan dan lahan, hingga krisis asap—tidak dapat lagi dipahami sebagai peristiwa alam semata. Dalam perspektif politik hukum, bencana-bencana tersebut merupakan akumulasi kebijakan negara yang sejak lama mengabaikan daya dukung lingkungan dan prinsip kehati-hatian.
Sumatera adalah salah satu penyangga ekologis utama Indonesia. Hutan hujan tropis, lahan gambut, dan daerah aliran sungai besar seharusnya diperlakukan sebagai ruang lindung kehidupan. Namun realitas menunjukkan bahwa ruang-ruang ekologis tersebut terus dipersempit oleh kebijakan perizinan yang longgar dan orientasi pembangunan yang berlebihan pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
Secara konstitusional, negara diwajibkan menguasai dan mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan tersebut bukanlah kepemilikan absolut, melainkan mandat untuk mengatur, melindungi, dan memastikan keberlanjutan. Ketika bencana terus berulang, maka patut dipertanyakan apakah mandat konstitusi tersebut masih dijalankan secara konsisten.
Politik hukum lingkungan di Indonesia secara normatif terlihat progresif. Prinsip pembangunan berkelanjutan, kehati-hatian, dan perlindungan lingkungan hidup telah diatur dalam berbagai regulasi. Namun dalam praktik, politik hukum yang dijalankan justru menunjukkan ketimpangan serius antara norma dan kebijakan.
Di Sumatera, kebijakan perizinan kehutanan, perkebunan, dan pertambangan menjadi arena utama dari ketimpangan tersebut. Izin-izin usaha diberikan di wilayah yang secara ekologis rentan, termasuk kawasan hutan, daerah aliran sungai, dan lahan gambut. Keputusan ini bukanlah kebetulan teknis, melainkan pilihan politik hukum.
Banjir dan longsor yang berulang menunjukkan rusaknya sistem ekologis di wilayah hulu dan hilir. Sungai kehilangan fungsi alaminya karena hutan ditebang dan lahan dikonversi secara masif. Dalam konteks ini, bencana adalah hasil logis dari kegagalan negara mengendalikan tata ruang dan perizinan.
Kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera memperlihatkan wajah paling nyata dari politik hukum yang permisif. Setiap musim kemarau, asap kembali menyelimuti wilayah dan mengancam kesehatan publik. Fakta bahwa peristiwa ini terus berulang menunjukkan bahwa hukum lebih berfungsi sebagai alat administrasi, bukan instrumen pencegahan.
Politik hukum yang demikian pada akhirnya memproduksi risiko secara sistematis. Negara mengetahui potensi dampak ekologis dari kebijakan perizinan, namun tetap melanjutkannya dengan asumsi bahwa dampak tersebut dapat ditangani di kemudian hari. Dalam logika ini, bencana diperlakukan sebagai biaya pembangunan.
Yang paling terdampak dari situasi ini adalah masyarakat lokal, petani, nelayan, dan masyarakat adat di Sumatera. Mereka kehilangan rumah, lahan penghidupan, dan kesehatan. Sementara itu, manfaat ekonomi dari eksploitasi sumber daya alam lebih banyak dinikmati oleh segelintir aktor.
Kondisi ini menunjukkan bahwa bencana Sumatera bukan hanya bencana lingkungan, tetapi juga bencana keadilan. Politik hukum yang ada telah mendistribusikan manfaat dan risiko secara tidak adil, bertentangan dengan prinsip negara kesejahteraan dan keadilan sosial.
Penegakan hukum lingkungan yang lemah semakin memperparah keadaan. Instrumen pidana lingkungan jarang digunakan terhadap pelaku utama perusakan, sementara sanksi administratif sering kali tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Hukum kehilangan fungsi korektifnya.
Negara cenderung hadir secara reaktif, yakni setelah bencana terjadi. Bantuan darurat, rehabilitasi sementara, dan relokasi sering kali tidak disertai evaluasi serius terhadap kebijakan yang menjadi akar masalah. Pola ini menunjukkan politik hukum yang tidak belajar dari kegagalannya sendiri.
Prinsip kehati-hatian yang seharusnya menjadi fondasi hukum lingkungan justru tereduksi dalam praktik perizinan berbasis efisiensi dan percepatan investasi. Lingkungan diposisikan sebagai variabel yang dapat dinegosiasikan, bukan sebagai batas yang tidak boleh dilanggar.
Dalam kerangka politik hukum, kondisi ini mencerminkan negara yang lebih berperan sebagai fasilitator kepentingan ekonomi daripada sebagai penjaga keselamatan ekologis dan sosial. Padahal, negara hukum yang sejati diukur dari kemampuannya melindungi rakyat dari risiko struktural, termasuk risiko bencana.
Sumatera hari ini sedang memberikan peringatan keras bahwa arah politik hukum sumber daya alam perlu dikoreksi secara mendasar. Tanpa koreksi tersebut, bencana akan terus berulang dengan skala dan dampak yang semakin besar. Reorientasi politik hukum lingkungan harus dimulai dari pengetatan perizinan di wilayah rawan bencana, konsistensi penataan ruang, serta penguatan pengawasan dan penegakan hukum lingkungan. Hukum harus kembali ditempatkan sebagai instrumen pengendali, bukan sekadar prosedur administratif.
Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan lokal juga harus menjadi bagian integral dari kebijakan. Mereka bukan penghambat pembangunan, melainkan penjaga ekosistem yang selama ini terbukti mampu menjaga keseimbangan alam.
Negara juga harus berani menjadikan bencana sebagai indikator kegagalan kebijakan, bukan sekadar peristiwa alam yang netral. Tanpa keberanian politik tersebut, refleksi atas bencana hanya akan menjadi ritual tahunan tanpa perubahan nyata.
Bencana Sumatera pada akhirnya menguji komitmen negara terhadap konstitusi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Jika politik hukum terus dibiarkan salah arah, maka yang terancam bukan hanya lingkungan hidup, tetapi juga legitimasi negara hukum itu sendiri.
Sumatera tidak sedang murka. Ia sedang menagih tanggung jawab negara untuk kembali pada mandat konstitusional, melindungi rakyat, menjaga lingkungan, dan memastikan bahwa pembangunan tidak dibangun di atas penderitaan dan kehancuran ekologis.
Penulis: Taufik Qurochman, S.H., M.H.
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jambi














































