JAMBI28TV, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus ketentuan ambang batas minimal pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam sidang pleno di Jakarta, Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa aturan ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis (2/1/2025). Keputusan ini menandai tonggak baru dalam sejarah demokrasi Indonesia.
Dasar Pertimbangan Mahkamah
Dalam pertimbangannya, MK menegaskan bahwa presidential threshold telah mencederai hak konstitusional partai politik peserta pemilu, terutama partai baru. Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menjelaskan bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan hak partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
“Dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR sebelumnya, partai politik baru yang lolos sebagai peserta pemilu kehilangan hak konstitusional untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden,” kata Saldi.
Lebih lanjut, MK menilai bahwa aturan ini telah menutup akses partai kecil dan baru dalam mencalonkan kandidat. Selain itu, penerapan angka ambang batas dianggap tidak berdasarkan rasionalitas yang jelas serta mengandung potensi konflik kepentingan.
Efek Polarisasi dan Ketidakadilan
MK juga mencermati dampak negatif presidential threshold terhadap dinamika politik Indonesia. Dalam beberapa pemilu terakhir, aturan ini cenderung menghasilkan hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kondisi ini dinilai rentan memicu polarisasi di masyarakat yang dapat mengancam keutuhan bangsa.
“Penggunaan ambang batas tidak hanya mencederai kedaulatan rakyat, tetapi juga menciptakan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi,” tegas Saldi.
Mahkamah juga menyoroti bahwa menggunakan hasil pemilu anggota DPR sebagai dasar threshold memaksakan logika sistem parlementer dalam sistem presidensial Indonesia, yang seharusnya memisahkan mandat rakyat untuk legislatif dan eksekutif.
Perbedaan Pendapat Hakim
Keputusan ini tidak diambil tanpa perdebatan. Dua hakim konstitusi, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh, menyampaikan dissenting opinion. Mereka berpendapat bahwa ambang batas diperlukan untuk menyederhanakan sistem politik dan memastikan stabilitas pemerintahan. Namun, mayoritas hakim sepakat untuk menghapus aturan tersebut.
Latar Belakang dan Respons Publik
Perkara ini diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Keputusan MK disambut baik oleh para pemohon yang menganggapnya sebagai kemenangan besar bagi demokrasi.
“Ini adalah langkah maju untuk menciptakan sistem politik yang lebih inklusif dan adil,” kata salah satu pemohon, Enika Maya Oktavia.
Di sisi lain, beberapa pengamat politik menilai bahwa penghapusan threshold dapat memunculkan dinamika baru dalam Pemilu 2029. Tanpa batasan suara, lebih banyak partai politik dapat mengajukan pasangan calon, sehingga memperluas pilihan rakyat.
Implikasi untuk Demokrasi Indonesia
Penghapusan presidential threshold membawa sejumlah dampak potensial, antara lain:
- Keterbukaan Demokrasi
Partai politik kecil dan baru kini memiliki peluang yang sama untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden, memperkuat prinsip demokrasi yang inklusif. - Dinamisasi Kompetisi Politik
Dengan lebih banyak pasangan calon, kompetisi politik diperkirakan akan semakin beragam, memberikan rakyat lebih banyak pilihan dalam menentukan pemimpin bangsa. - Risiko Fragmentasi
Di sisi lain, beberapa pihak khawatir bahwa tanpa ambang batas, jumlah pasangan calon yang terlalu banyak dapat memperumit proses pemilu.
Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menghapus presidential threshold merupakan langkah berani yang diyakini akan mengubah wajah politik Indonesia. Dengan membuka pintu lebih lebar bagi partai politik untuk mencalonkan kandidat, keputusan ini diharapkan dapat mendorong demokrasi yang lebih sehat, inklusif, dan adil.
Namun, tantangan baru juga muncul. Bagaimana sistem politik dan masyarakat Indonesia menghadapi dinamika baru ini akan menjadi ujian penting bagi demokrasi ke depan. Seiring waktu, keputusan ini akan menjadi bahan evaluasi apakah benar-benar membawa dampak positif bagi bangsa.