JAMBI28.TV, BATANGHARI – Hutan Raya Senami atau yang sekarang dikenal dengan Hutan Sultan Thaha Syarifuddin (STS) di Kabupaten Batang Hari, Jambi, tengah menjadi sorotan publik. Kawasan hutan raya yang seharusnya lestari ini kini diduga telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit dan lokasi pengeboran minyak ilegal. Kondisi ini memicu kekhawatiran serius akan keberlangsungan ekosistem dan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Perambahan hutan STS ini terungkap dari penelusuran di lapangan. Seorang warga berinisial Luyo menceritakan, “Di saat saya melintasi hutan raya Senami ini, di pinggir jalan kelihatan masih hutan karena pohon tidak ditumbang agar terlihat masih utuh. Namun, kalau kita masuk 40 meter dari jalan, rupanya hutan ini sudah ditumbang dan ditanami kelapa sawit.”
Luyo menambahkan bahwa dahulu hutan STS dikenal dengan kekayaan alamnya.
“Dahulu hutan ini dijaga dan masih banyak pepohonan serta daun yang bisa dijadikan obat, dan masih banyak juga hewan yang numpang hidup di hutan ini. Dengan kondisi sekarang, hutan ini sudah gundul,” ujarnya prihatin.
Fungsi Hutan Raya dan Peran Dinas Lingkungan Hidup
Hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam yang berfungsi sebagai tempat koleksi tumbuhan dan satwa, baik alami maupun buatan, jenis asli maupun non-asli. Kawasan ini dikelola untuk kepentingan penelitian, pendidikan, pemanfaatan untuk budidaya, budaya, pariwisata, serta rekreasi.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) memiliki peran krusial dalam pengelolaan hutan raya, termasuk:
Pelestarian: Melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem yang ada di hutan raya.
Pemanfaatan: Mengelola pemanfaatan hutan raya untuk kepentingan penelitian, pendidikan, budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Pengawasan: Memantau dan mengawasi aktivitas di dalam hutan raya untuk mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Peningkatan: Melakukan kegiatan peningkatan kualitas hutan raya, seperti penanaman kembali dan restorasi ekosistem.
Masyarakat berharap DLH tidak menutup mata terhadap perambahan yang terjadi di hutan STS.
Tuntutan Penegakan Hukum dan Kekecewaan Masyarakat
Melihat kondisi memprihatinkan ini, masyarakat mendesak pihak berwenang untuk segera bertindak. “Kami berharap kepada UPTD KPHP Kabupaten Batang Hari, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Aparat Penegak Hukum (APH), dan DLH tidak menutup mata terkait hal ini,” ujar Luyo.
Ia meminta agar penegak hukum memberikan tindakan tegas terhadap pelaku serta penertiban terhadap perambah tanpa izin tersebut. “Kami meminta segala bentuk tindak pidana di bidang kehutanan maupun perusakan Tahura ini dapat ditindak secara transparan dan tidak ditutup-tutupi,” tegasnya.
Tokoh muda Batang Hari, Heriyanto S.H., C.L.A, juga menyayangkan perusakan hutan ini. “Sangat disayangkan, ‘lestari kan hutan itu’ kini hanya celoteh belaka, juga seperti isu tambang di Raja Ampat, lebih kurang dengan penambahan yang ada di hutan Senami,” kata Heriyanto.
Heriyanto mengungkapkan kekecewaan masyarakat terhadap kinerja aparat pemerintah.
“Kini sebagian masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan oknum di pemerintahan, baik itu pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang katanya siap menegakkan aturan, baik itu undang-undang sampai dengan aturan yang dikeluarkan. Semua itu tidak pernah dijalani dan atau ditaati,” kritiknya.
Ia menegaskan bahwa Hutan Senami, yang merupakan kawasan lindung Sultan Thaha Jambi, kini telah dijarah oleh warga, oknum pejabat, dan pihak lainnya untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dan karet, serta aktivitas pertambangan minyak ilegal.
Ancaman Sanksi Pidana bagi Perambah Hutan
Perusakan hutan ini merupakan pelanggaran serius terhadap hukum. Berdasarkan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan/atau Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) beserta perubahannya, terdapat ancaman sanksi pidana bagi siapa pun yang secara melawan hukum.
Sebagaimana dimaksud pada Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa setiap orang dilarang merambah kawasan hutan. Terhadap perbuatannya, pelaku dapat dihukum pidana penjara 10 tahun dan/atau denda Rp 5 miliar (Pasal 78 ayat 2).
Mengingat ancaman hukum yang jelas, masyarakat berharap penegak hukum tidak ragu dalam menindak tegas para pelaku perusakan Hutan Sultan Thaha Syarifuddin demi menjaga kelestarian alam Jambi. (Ilham)