JAMBI28.TV, JAMBI – Warga yang bermukim di sepanjang aliran Sungai Batanghari, Jambi, mengeluhkan aktivitas angkutan batu bara melalui jalur sungai. Alih moda angkutan ini, yang semula ditujukan untuk mengurangi polusi dan kecelakaan di jalur darat, kini justru menimbulkan persoalan baru bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari perairan.
Keluhan datang dari petani ikan dan nelayan. Mereka menyebut, lalu lalang tongkang batu bara membuat kualitas air menurun drastis, sehingga merugikan ekosistem sungai dan berdampak langsung pada keramba ikan.
“Sejak tahun 2013, awalnya kami punya 10 keramba, lalu berkembang hingga 200 keramba. Sekarang tinggal tersisa 40 keramba saja. Hampir setiap panen rugi, bahkan bisa mencapai Rp1 juta per keramba,” ungkap Zainul, salah satu petani ikan, Minggu (18/8/2025).
Ia menambahkan, tak jarang ikan peliharaannya mati puluhan ekor per hari akibat air yang tercemar dan keruh. “Ikan sangat lemah, tidak kuat menahan kualitas air seperti sekarang,” ujarnya.
Keluhan serupa juga disampaikan warga Bajubang Laut. Menurutnya, biaya pakan ikan yang mahal semakin memperparah kerugian.
“Dulu kami sempat bikin 10 keramba, tapi setelah panen malah rugi besar. Pakan ikan bisa sampai ratusan ribu per karung. Sekarang yang tersisa hanya drum-drum bekas,” keluhnya.
Selain menurunkan kualitas air, warga juga menyoroti dampak lain dari aktivitas tongkang batu bara, seperti terganggunya aktivitas nelayan serta kerusakan infrastruktur, termasuk pada tiang Jembatan Tembesi.
Sejak Januari 2024, Pemerintah Provinsi Jambi resmi mengalihkan jalur angkutan batu bara dari darat ke sungai melalui instruksi gubernur. Kebijakan ini diambil setelah sering terjadinya kemacetan, polusi, dan kecelakaan lalu lintas di jalan nasional akibat truk pengangkut batu bara.
Namun, warga berharap pemerintah segera mengevaluasi dampak kebijakan tersebut. “Ini bukan hanya soal kerugian kami, tapi juga soal kelangsungan hidup masyarakat yang bergantung pada sungai,” pungkas Zainul. (Ilham)