JAMBI28.TV, JAMBI – Petani kelapa sawit di Jambi, khususnya di Kabupaten Batanghari, mengeluhkan maraknya aksi pencurian tandan buah segar (TBS) yang makin menjadi-jadi dalam setahun terakhir. Mereka menuding Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012, yang mengatur tindak pidana ringan (Tipiring), sebagai salah satu hambatan dalam penegakan hukum terhadap para pelaku.
Kasriwandi, seorang petani setempat, menyebutkan bahwa pencurian sawit kini terjadi hampir setiap hari. Ia mengatakan, dalam sehari satu pelaku bisa membawa kabur hingga 150 kilogram TBS atau brondolan.
“Dulu pencurian sawit sudah ada, tapi tidak separah sekarang. Sejak harga TBS tembus Rp3.000 per kilogram, pencurian jadi semakin sering. Sudah kayak kerjaan harian mereka,” ujar Kasriwandi, yang akrab disapa Bang Iwan, pada Rabu (9/4/2025).
Menurutnya, para pelaku merupakan warga dari desa-desa sekitar kebun. Ironisnya, sebagian besar dari mereka kini menjadikan mencuri sawit sebagai pekerjaan utama. “Kalau dari satu RT ada 60 kepala keluarga, sekitar 60 persennya berubah jadi pencuri sawit. Dulu mereka petani karet, cari ikan, atau motong kayu,” jelasnya berdasarkan informasi dari Ketua RT di wilayah tersebut.
Lebih miris lagi, kata dia, para pelaku sudah tidak memiliki rasa malu ataupun takut. Bahkan, anak-anak usia SMP pun ikut mencuri demi membeli narkoba.
Upaya hukum telah dilakukan oleh para petani, namun hasilnya nihil. Karena nilai barang curian umumnya tidak mencapai Rp2,5 juta, maka kasus tersebut dikategorikan sebagai Tipiring dan pelaku tidak bisa ditahan. Kalaupun ditahan, tidak lebih dari 24 jam.
“Kami pernah ambil tindakan sendiri, seperti membakar motor pelaku. Tapi tidak ada efek jera, karena motor mereka pun rata-rata bodong, harganya cuma Rp600 ribu sampai Rp1 juta,” ujar Kasriwandi yang juga menjabat sebagai pengurus DPP APKASINDO.
Ia menilai keberadaan Perma No. 2 Tahun 2012 justru menyulitkan petani untuk mendapatkan keadilan. “Minimal kerugian Rp2,5 juta untuk bisa diproses hukum. Padahal, per hari mereka curi 150 kg, cuma Rp450 ribu kalau dihitung. Jadi ya tidak bisa ditindak secara hukum,” jelasnya.
Alternatif hukum lain adalah menggunakan Undang-Undang Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014, namun prosesnya sangat mahal dan memberatkan bagi petani kecil. “Untuk sidang, kita harus hadirkan saksi ahli. Biayanya bisa sampai Rp5-10 juta per orang, dan itu belum termasuk biaya tambahan jika sidang berulang kali,” tuturnya.
Kasriwandi pun mempertanyakan, “Dengan kondisi seperti ini, apa yang bisa dilakukan oleh petani kecil?”. (*)