JAMBI28.TV, JAMBI – Isu dugaan pungutan liar (pungli) di lingkungan SMA Negeri 3 Kota Jambi mencuat ke publik setelah sejumlah orang tua siswa menyampaikan rasa kecewa terhadap keputusan sepihak dari pihak sekolah.
Keputusan tersebut menyebabkan sejumlah siswa tidak naik kelas, bukan karena prestasi akademik yang buruk, melainkan karena tingginya jumlah ketidakhadiran mereka di sekolah.
Ironisnya, para siswa yang mengalami tinggal kelas tersebut diketahui memiliki nilai rapor yang cukup baik, bahkan di atas rata-rata. Salah satunya adalah siswa kelas XI, sebut saja “Suryanto”, yang tidak naik kelas karena memiliki absensi sebanyak 19 hari.
Namun, ketidakhadiran ini bukan karena malas atau tidak disiplin, melainkan akibat tekanan psikologis akibat perundungan (bullying) dari teman-temannya. Ia kerap diejek karena tidak pernah membayar berbagai pungutan sekolah. Hal ini membuatnya merasa rendah diri dan mengalami gangguan mental.
Kasus serupa juga dialami oleh siswa kelas X, “Suryana”, yang dikenal rajin, pintar, dan berakhlak baik. Namun, ia juga tidak naik kelas karena jumlah absensi yang tinggi. Suryana tidak masuk sekolah karena terus-menerus mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari rekan-rekannya, yang mencibirnya karena dianggap tidak mau “berkontribusi” dalam bentuk dana untuk berbagai kegiatan sekolah.
Berbagai bentuk pungutan yang diduga dilakukan oleh pihak sekolah antara lain:
- Iuran komite bulanan sebesar Rp50.000 – Rp200.000 per siswa.
- Uang kegiatan ulang tahun sekolah sebesar Rp250.000 per siswa.
- Uang kas kelas Rp20.000 per bulan.
- Pembelian LKS (Lembar Kerja Siswa) sekitar Rp15.000.
- Biaya pembuatan kartu siswa sebesar Rp70.000.
- Iuran pembelian AC kelas sebesar Rp250.000 per siswa.
- Pungutan acara perpisahan untuk kelas X dan XI sebesar Rp90.000 per siswa.
Padahal, Dinas Pendidikan Provinsi Jambi telah mengeluarkan larangan penggunaan LKS di sekolah negeri. Namun, SMA N 3 tetap menggunakan LKS, yang menimbulkan dugaan bahwa pihak kepala sekolah menerima keuntungan dari penjualannya. Walaupun buku paket dipinjamkan secara gratis, siswa tetap harus memiliki kartu siswa untuk meminjamnya, yang kembali mengharuskan mereka membayar Rp70.000 padahal biaya cetaknya hanya sekitar Rp10.000.
Iuran komite yang dikumpulkan secara rutin pun tidak transparan penggunaannya, karena untuk acara perpisahan maupun ulang tahun sekolah tetap dibebankan pungutan tersendiri.
Hal ini memunculkan pertanyaan: ke mana sebenarnya alokasi Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang jumlahnya mencapai Rp1.500.000 per siswa setiap tahunnya? Mengapa Dinas Pendidikan dan Inspektorat Provinsi Jambi tidak pernah melakukan pemeriksaan atau tindakan terhadap pihak sekolah?
Siswa yang tidak naik kelas juga tidak diberikan kesempatan untuk berdiskusi, memperbaiki absensi, atau mengajukan keberatan. Keputusan dibuat secara sepihak tanpa musyawarah dengan wali murid.
Muncul dugaan adanya kerja sama terstruktur antara pihak sekolah, Dinas Pendidikan, dan Inspektorat, yang memungkinkan praktik-praktik tidak sehat ini terus berlangsung. Bahkan, sekolah ini juga diduga menerima siswa baru secara tidak resmi melalui pembayaran sebesar Rp10–12 juta tanpa proses seleksi atau verifikasi yang semestinya.
Kepada Gubernur dan Wali Kota Jambi, masyarakat berharap agar permasalahan di SMA Negeri 3 Kota Jambi ini segera diusut tuntas demi menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat dan adil bagi seluruh siswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.