JAMBI28.TV, KOTA JAMBI – Rapat Paripurna DPRD Kota Jambi pada 3 Maret 2025 menjadi saksi bagi pidato perdana Wali Kota Jambi periode 2025-2030. Di hadapan para anggota dewan, pejabat daerah, dan masyarakat, sang pemimpin baru menguraikan rencana besar lima tahun ke depan. Namun, di balik narasi pembangunan dan kesejahteraan yang mengalir dalam pidatonya, aktivis dan masyarakat menunggu realisasi nyata di lapangan.
Dalam paparannya, Wali Kota menampilkan sederet angka ekonomi yang tampak menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi Jambi pada 2024 tercatat 4,98 persen, inflasi terkendali di 0,41 persen (m-to-m), dan pendapatan per kapita mencapai Rp68,5 juta per tahun. Namun, angka Gini Ratio 0,372 masih menunjukkan kesenjangan ekonomi yang nyata.
“Tantangan kita bukan sekadar pertumbuhan, tetapi pemerataan kesejahteraan,” ujarnya dengan optimisme.
Sejumlah program unggulan diumumkan. Kartu Bahagia dijanjikan sebagai solusi terpadu untuk membantu masyarakat miskin mengakses layanan kesehatan dan pendidikan. Bank Harkat digadang-gadang memperkuat ekosistem usaha mikro, sementara Rumel (Ruang Milenial) disebut sebagai ruang bagi anak muda untuk berkreasi dan berdaya saing. Tak hanya itu, program Kampung Bahagia yang mengalokasikan Rp100 juta per RT untuk pembangunan lingkungan juga disebut sebagai langkah revolusioner dalam pemberdayaan masyarakat.
Namun, di balik semangat itu, pertanyaan besar mengemuka: bagaimana jaminan bahwa program-program ini benar-benar sampai kepada yang berhak? “Jangan sampai program populis hanya jadi alat politik tanpa dampak konkret,” kata seorang aktivis kepemudaan yang enggan disebut namanya.
Persoalan lain yang tak kalah penting adalah kualitas pendidikan dan minimnya ruang bagi generasi muda. Pemerintah menjanjikan revitalisasi Balai Latihan Kerja (BALIKAT) untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja. Namun, tanpa sinkronisasi dengan kebutuhan pasar, program semacam ini berisiko hanya mencetak lulusan tanpa kejelasan pekerjaan.
Di sisi lain, masalah klasik Kota Jambi seperti banjir, kemacetan, dan sampah masih menghantui. Wali Kota menawarkan Kota Tangguh, sebuah konsep pembangunan infrastruktur yang diklaim akan mengatasi persoalan ini secara sistematis. Tapi, apakah itu cukup?
“Selama tata ruang tidak dibenahi dan kesadaran lingkungan masih rendah, solusi hanya akan jadi tambal sulam,” kritik seorang akademisi lingkungan.
Dengan visi Jambi sebagai kota perdagangan dan jasa yang bersih, aman, harmonis, agamis, inovatif, dan sejahtera, Wali Kota mengajak seluruh elemen masyarakat berpartisipasi. Namun, seperti yang sering terjadi, realitas pemerintahan sering kali berjalan lebih lambat dari retorika.
Kini, janji sudah terucap, rencana sudah tersusun. Saatnya rakyat mengawasi, menagih, dan memastikan bahwa pembangunan tidak sekadar wacana. Sebab, seperti kata pepatah, “Jangan hanya besar di pidato, tapi kerdil di eksekusi.”